Sembilan Karakteristik Ibadah Haji

Sembilan Karakteristik Ibadah Haji

IHRAM.CO.ID, JAKARTA — Secara syar’i, ibadah haji merupakan ibadah mahdhah yakni ibadah spesial, dengan karakteristik tertentu yang juga spesial. Dr.K.H Asep Zaenal Ausop, M.Ag dalam bukunya ‘Haji Falsafah, Syariah & Rihlah’ menulis ada 9 karakter ibadah haji sebagai ibadah mahdhah.

1. Mihadh
Mihadh artinya bersih dari aturan di luar manasik haji sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw. Contoh, dalam rangka melakukan pekerjaan yang terbaik seseorang bekerja dengan prinsip efektif dan efisien. Tetapi, apabila seseorang berlari cepat (sprint) di antara Bukit Safa dan Marwah hal ini terlarang karena aturannya tidak demikian.

2. Taufiki
Harus cocok dan tepat dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Dalam hal ini seorang ulama atau badan pengurus haji tidak boleh mengubah-ubah manasik haji hanya karena mengacu pada pertimbangan rasional apalagi karena pertimbangan keuntungan bisnis.

3. Amr (perintah)
Semua rangkaian ibadah haji harus dilaksanakan sesuai dengan perintah Rasulullah SAW. Seseorang tidak boleh melakukan sesuatu tanpa perintah Allah dan Rasul-Nya. Misalnya, berjalan mundur setelah habis tawaf.

“Tindakan itu bukan perintah Rasulullah dan ini termasuk bidah,” kata KH Asep Zaenal

4. Ittiba
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu tinggalkan.” (Al-Hasyr ayat 7)

Terkait hal ini sikam Khalifah Umar Bin Khattab ra menjadi teladan. Saat di hadapan Hajar Aswad Umar berkata:

“Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan juga tidak memberi manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah SAW menciummu aku pun tidak akan mencium mu. Kemudian, Umar pun menciumnya. “

5. Masthath’tum
Dikerjakan dengan sekuat tenaga titik. Misalnya, waktu utama untuk melempar jumrah aqabah pada tanggal 10 julhijah, adalah pada waktu Dhuha. Tetapi, jika tidak kuat, bisa dilakukan setelah asar. Jika tidak kuat juga lakukanlah pada waktu malam.

6. Waqi’i
Melihat kenyataan di lapangan. Jamaah haji bisa mendapatkan rukshah (keringanan) setelah dia melihat realitas di lapangan terdapat kesulitan untuk melaksanakannya. Misalnya, ketika seseorang baru melakukan dua putaran tawaf, ternyata dia tidak kuat.

“Dipersilahkan untuk menggunakan kursi roda,” katanya.

7. Munfaridy
Dikerjakan secara perseorangan, bukan berjamaah. Jika sholat lebih utama dilaksanakan secara berjamaah, rangkaian ibadah haji lebih bersifat perseorangan. Karena itu, setiap jamaah haji tidak boleh bergantung kepada pembimbing.

8. Fardhuain.
Ibadah haji merupakan kewajiban individual atau kewajiban perseorangan yang tidak bisa diwakili dan digantikan oleh orang lain.

9. Tafshli
Aturan Haji sudah sangat terperinci dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, jamaah tinggal melaksanakannya sesuai dengan dalil-dalil yang ada. Pembimbing pun tidak perlu banyak melakukan ijtihad dalam soal hukum haji.

“Kecuali soal strategi dan teknis pelaksanaan,” katanya.

Karena tindakan menambahkan dari yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah adalah Bid’ah dhalalah (berlebihan yang sesat). Jika aturan Allah dan rasul-Nya dikurangi dari yang jadi yang sebenarnya disebut zalim hajinya tidak sempurna.

“Apalagi jika dengan sengaja mengubah, bisa dihukumi fasik,” katanya.

Berdasarkan karakteristik ibadah haji tersebut jelaslah bahwa jamaah haji harus memiliki patokan dan pedoman yang kukuh dalam melaksanakan ibadah haji. Dengan patokan dan pedoman itulah, dia bisa meraih haji mabrur yang cumlaude sebagaimana yang diharapkan.

Share this post


Open chat
Scan the code
Halo, Assalamualaikum, Terima kasih sudah menghubungi Badan Pengelola Keuangan Haji. Silahkan klik Open Chat atau Scan QR Code